Jumat, 18 Maret 2016

Ujian Nasional: Pendidikan Berorientasi Hasil

Entah apa yang dipikirkan pemerintah, mereka seolah tidak berkaca pada carut marutnya Ujian Nasional dari tahun ke tahun. Mereka seolah tuli atau pura-pura tak mendengar suara sumbang dari banyak kalangan akan kebijakan UN ini. Meskipun hujan kritik terhadap pelaksanaan UN ini tidak pernah berhenti, mereka tetap menjalankan UN. The Show Must Go On mungkin itulah motto pemerintah. Kebocoran jawaban, keterlambatan logistik ujian, contek mencontek, jual beli kunci jawaban, selalu menghiasi media setiap kali UN dilaksanakan. Sepertinya siswa hanya dijadikan bahan percobaan.
Tahun ini, UN akan diikuti 6.939.605 siswa (SMP,SMA,SMK,Paket B/C), dengan anggaran yang mencapai Rp545 miliar. Tak seperti tahun sebelumnya, untuk kelulusan ada perbedaan pada komposisi nilai sekolah. Mendikbud mengatakan, jika pada 2013 lalu komposisi nilai sekolah terdiri dari 40 persen nilai rata-rata rapor, dan 60 persen nilai ujian sekolah, tahun ini komposisi nilai sekolah terdiri dari 70 persen nilai rata-rata rapor dan 30 persen nilai ujian sekolah. Artinya, faktor kelulusan tidak sepenuhnya berdasarkan hasil ujian, melainkan nilai harian siswa. Tapi meskipun begitu UN masih menjadi hal yang menakutkan bagi sebagian siswa.
Ujian memang diperlukan untuk melihat hasil belajar siswa, serta untuk mengukur kapasitas siswa. Ujian Nasional sendiri dimaksudkan untuk pemetaan mutu sekolah di Indonesia. Apakah sekolah itu memenuhi standar nasional atau tidak. Kita bisa mengukur mutu sekolah Dari hasil UN, setiap sekolah mendapatkan semacam rapor yang memperlihatkan mutu sekolah tersebut dengan melihat perolehan nilai siswanya dalam UN.
Hasil UN juga digunakan sebagai evaluasi sekolah. Misalkan jika nilai rata-rata yang diperoleh sekolah saat UN berada di bawah nilai rata-rata kabupaten, berarti sekolah tersebut harus mendapat perhatian khusus. Sedangkan jika nilainya berada di atas rata-rata provinsi, sekolah tersebut bisa menjadi sekolah percontohan.
Nyatanya UN hanya mendiskriminasi siswa/i yang kurang mampu, siswa di daerah terpencil, dimana sarana dan prasarana tidak memadai, tenaga pengajar sangat terbatas dan penyediaan buku terbatas. Lain halnya dengan siswa berlatar belakang ekonomi keluarga kuat mereka mampu membayar biaya bimbel di luar kegiatan sekolah, dan mampu menyediakan buku dan bahan ajar yang memadai. Sehingga kemungkinan lulus lebih besar. Masukan dan proses yang berbeda akan menghsilkan output yang berbeda pula.
Dampak Ujian Nasional
UN akan menimbulkan pemahaman  yang keliru di sekolah. Tujuan pendidikan yang harusnya mencari ilmu, pembentukan akhlak yang baik dan pengembangan kecerdasan, menjadi hanya sebatas meraih kelulusan Ujian Nasional saja. Akibatnya siswa hanya focus pada mata pelajaran UN, sedangkan mata pelajaran non-UN dinomorduakan.
Kondisi itu diperburuk oleh adanya ketidakjujuran dalam pelaksanaan UN. Setiap kali UN dilaksanakan pasti selalu tercium aroma kecurangan yang terjadi di beberapa sekolah. Seperti dibocorkannya kunci jawaban oleh pihak sekolah atau membantu siswa dalam menjawab soal. Semua itu hanya untuk menjaga gelar “Sekolah Favorit”. Selain itu, banyak orang tua yang lebih memilih anaknya tidak jujur daripada tidak lulus. Artinya mereka rela melakukan apapun demi kelulusan. Dengan demikian UN hanya menciptakan pendidikan berorientasi hasil bukan proses.
Selain berdampak pada proses belajar mengajar, juga bedampak negative pada guru dan siswa. UN bisa menciptakan karakter yang tidak jujur dan serba instant pada sebagian siswa. Pada beberapa kasus, ada sejumlah siswa yang patungan hanya untuk membeli kunci jawaban yang dihargai sekitar 7 juta dari oknum PNS di Dinas Pendidikan sendiri. Selain itu UN menyebabkan siswa hanya terfokus pada pencerdasan intelektual saja. Misalnya, siswa yang terlibat kriminal atau narkoba, mungkin saja akan dinyatakan lulus jika memang UN-nya lulus. Sementara itu, siswa yang berprestasi di suatu bidang seperti olahraga atau kesenian, tapi  hasil UN mereka dinyatakan tidak lulus maka mereka dinyatakan tidak lulus.
Disisi lain, guru hanya akan focus mengajarkan materi yang diprediksi akan keluar dalam UN. Sementara kompetensi yang lain diabaikan meskipun mungkin dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya guru bahasa inggris akan lebih focus mengajarkan listening dan reading saja, karena hanya dua skill itulah yang diuji dalam UN. Dengan demikian, guru bahasa inggris cendrung mengabaikan skill speaking dan writing. Padahal kedua skill ini juga penting saat di dunia kerja.
Diabaikannya mata pelajaran Non-UN, akan menimbulkan masalah lain. Seperti kurangnya motivasi guru mata pelajaran terkait dalam melakukan pembelajaran secara maksimal. Kurangnya motivasi juga akan terjadi pada siswa. Misalnya, untuk apa belajar sejarah, agama, kesenian, toh nanti juga tidak diujikan. Dan mata pelajaran yang paling kuat pengaruhnya hanya 4 mata pelajaran (B. Indonesia, B. Inggris, Matematika, dan Mata Pelajaran Penjurusan).
Jadi, sebenarnya UN lebih banyak menimbulkan masalah daripada manfaat. Hanya memperburuk mutu pendidikan Indonesia, hanya menjadi momok menakutkan bagi segelintir siswa, hanya membuat sistem pendidikan Indonesia yang sekuler menjadi lebih sekuler lagi.
Sistem Pendidikan Islam
Untuk mengubah dan memperbaiki kondisi dunia pendidikan harus dilakukan pendekatan yang integratif dengan pengubahan paradigma dan pokok-pokok penopang sistem pendidikan. Untuk itu diperlukan Islam sebagai solusi terhadap kenyataan tersebut.
Robert L. Gullick Jr. dalam  bukunya Muhammad, The Educator menyatakan:
“Muhammad merupakan seorang pendidik yang membimbing manusia menuju kemerdekaan dan kebahagiaan yang lebih besar. Tidak dapat dibantah lagi bahwa Muhammad sungguh telah melahirkan ketertiban dan stabilitas yang mendorong perkembangan Islam, suatu revolusi sejati yang memiliki tempo yang tidak tertandingi dan gairah yang menantang… Hanya konsep pendidikan yang paling dangkallah yang berani menolak keabsahan meletakkan Muhammad diantara pendidik-pendidik besar sepanjang masa, karena -dari sudut pragamatis- seorang yang mengangkat perilaku manusia adalah seorang pangeran di antara pendidik”.
Beberapa paradigma dasar bagi sistem pendidikan Khilafah:
1. Khilafah Islam meletakkan prinsip kurikulum, strategi, dan tujuan pendidikan berdasarkan aqidah Islam. Pada aspek ini diharapkan terbentuk SDM terdidik dengan pola berfikir dan pola sikap yang islami.
2. Pendidikan harus diarahkan pada pengembangan keimanan, sehingga melahirkan amal saleh dan ilmu yang bermanfaat. Prinsip ini mengajarkan pula bahwa di dalam Islam yang menjadi pokok perhatian bukanlah kuantitas, tetapi kualitas pendidikan. Perhatikan bagaimana Al Quran mengungkapkan tentang ahsanu amalan atau amalan shalihan (amal yang terbaik atau amal shaleh).
3. Pendidikan ditujukan dalam kaitan untuk membangkitkan dan mengarahkan potensi-potensi baik yang ada pada diri setiap manusia selaras dengan fitrah manusia dan meminimalisir aspek yang buruknya.
4. Keteladanan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam suatu proses pendidikan. Dengan demikian sentral keteladanan yang harus diikuti adalah Rasulullah saw.
 
Adapun strategi dan arah perkembangan ilmu pengetahuan dapat kita lihat pula dalam kerangka berikut ini:
1. Tujuan utama ilmu yang dikuasai manusia adalah dalam rangka untuk mengenal Allah swt. sebagai Al Khaliq, menyaksikan kehadirannya dalam berbagai fenomena yang diamati, dan mengangungkan Allah swt, serta mensyukuri atas seluruh nikmat yang telah diberikanNya.
2. Ilmu harus dikembangkan dalam rangka menciptakan manusia yang hanya takut kepada Allah swt. semata sehingga setiap dimensi kebenaran dapat ditegakkan terhadap siapapun juga tanpa pandang bulu.
3. Ilmu yang dipelajari berusaha untuk menemukan keteraturan sistem, hubungan kausalitas, dan tujuan alam semesta.
4. Ilmu dikembangkan dalam rangka mengambil manfaat dalam rangka ibadah kepada Allah swt., sebab Allah telah menundukkan matahari, bulan, bintang, dan segala hal yang terdapat di langit atau di bumi untuk kemaslahatan umat manusia.
5. Ilmu dikembangkan dan teknologi yang diciptakan tidak ditujukan dalam rangka menimbulkan kerusakan di muka bumi atau pada diri manusia itu sendiri.
Dengan demikian, agama dan aspek pendidikan menjadi satu titik yang sangat penting, terutama untuk menciptakan SDM (Human Resources) yang handal dan sekaligus memiliki komitmen yang tinggi dengan nilai keagamaannya. Di samping itu hal yang harus diperhatikan pembentukan SDM berkualitas imani bukan hanya tanggung jawab pendidik semata, tetapi juga para pembuat keputusan politik, ekonomi, dan hukum sangat menentukan.
Revolusi terhadap perilaku manusia merupakan basis dari gerakan pembaharuan yang benar. Oleh sebab itu sangat diperlukan coresponsible for finding solutions. Untuk melakukan revolusi tersebut diawali dengan revolusi pemikiran dan pemahaman manusia terhadap Islam.
 
edukasi.kompasiana.com
Wikipedia.com
Republika.co.id
Blog:Afrianto Daud

 
 
 
 
 
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar